Selasa, 20 November 2012

INEFISIENSI DALAM PERBANKAN INDONESIA (BI-01-SS-12)


Apakah benar penyebab inefisiensi bank di Indonesia karena tingginya remunerasi bankir. Jika dilihat dari rasio efisiensi yang tecermin dari Cost to Income Ratio (CIR), sebenarnya perbankan Indonesia relatif cukup efisien. Perbankan di Asia memiliki rata-rata CIR berkisar 46%. Sementara CIR perbankan Indonesia berkisar 50%. Tidak jauh-jauh amat memang.
Sementara jika tolak ukurnya adalah Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), rasio untuk perbankan Indonesia berkisar 75%. Rasio BOPO ini sudah memperhitungkan biaya provisi atau cadangan.
Lalu, mengapa Bank Indonesia (BI) masih menuding perbankan Indonesia belum efisien? Lontaran pertanyaan ini mengemuka menyusul munculnya pernyataan petinggi bank sentral bahwa ditengarai salah satu penyebab inefisiensi perbankan nasional karena gaji direksi yang terlalu tinggi. Apa memang benar demikian?
1.      Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan operasional perbankan Indonesia belum mencapai titik efisiensi yang optimal. Struktur organisasi bank yang cenderung melebar dan kegemukan.
2.      komposisi antara unit non bisnis (unit pendukung) dan unit bisnis yang tidak proporsional di mana unit non bisnis yang menjadi cost center lebih besar atau banyak ketimbang unit bisnis yang menjadi profit center.
3.      penempatan pejabat bank yang tidak tepat dengan kebutuhan bisnisnya lantaran prinsip the right man on the right job tidak dilaksanakan dengan baik. Yang mengenaskan, pejabat bank yang belum berpengalaman diberi posisi dan tanggung jawab yang tinggi melebihi kapabilitasnya. Akibatnya, pejabat seperti ini bukannya menjadi asset bernilai bagi bank, sebaliknya malah menjadi liabilities.
4.      kapabilitas sumber daya manusianya di bawah rata-rata, terutama terkait dengan kapabilitas dalam mengendalikan risiko bisnis, sehingga bank dihadapkan pada biaya operasional yang besar tanpa terkendali karena kewajiban membentuk provisi atau cadangan kerugian. Kewajiban pejabat memiliki sertifikat manajemen risiko sesuai level jabatan seperti dipersyaratkan oleh regulator tidak dipatuhi sehingga potensi risiko kredit, risiko operasional dan risiko likuiditas senantiasa mengancam.
5.      pejabat bank dari tingkat pusat hingga kantor cabangnya sering terlibat ke dalam aktivitas non korporasi (contohnya aktivitas seremonial) yang cenderung boros anggaran.
6.      kesalahan bank dalam menetapkan visi, misi dan strategi sehingga terjadi deviasi yang semakin melebar tecermin dari capaian target bisnis yang rendah di bawah rata-rata industrinya.
7.      komposisi pengurus bank yang tidak ideal atau proporsional di mana lebih banyak pos direksi non bisnis ketimbang direksi bisnisnya. Ibarat kesebelasan sepakbola, komposisi direksi lebih banyak pemain bertahan (full back) dan gelandang bertahan, sementara penyerangnya hanya satu alias striker tunggal.
8.      Investasi bank yang besar dalam memperluas jangkauan operasional melalui pembukaan kantor cabang dan menempatkan mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) untuk melayani kebutuhan nasabah di daerah-daerah. Ini sebagai konsekuensi terhadap perilaku nasabah dalam bertransaksi yang lebih suka mendatangi kantor cabang atau menggunakan fasilitas ATM ketimbang menggunakan saluran elektronik (mobile banking dan internet banking).
9.      terlalu banyak rapat, berwacana dan melakukan exercise terkait dengan rencana-rencana pengembangan bisnis, namun realisasinya nol besar. Bank terjebak dalam rapar-rapat tanpa pengambilan keputusan dan otomatis tanpa eksekusi yang riil. Akibatnya, ibarat perlombaan balap mobil F1, bank terlalu banyak melakukan pit-stop untuk melakukan hal-hal yang tidak perlu, sementara bank-bank pesaingnya tidak lagi melakukan pit-stop dan terus menginjak pedal gas sekuat-kuatnya.
Masih banyak lagi faktor yang membuat operasional bank tidak efisien. Yang pasti, jika kesembilan faktor penyebab di atas dapat diselesaikan, tingkat efisiensi operasional bank bakal membaik dibandingkan sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar