Minggu, 20 November 2011

Review Journal 8

 Nama Kelompok :
 Arya Faizal (21210150)
 Desy Dwi Jayanti ( 21210864)
 Dila Noviyanti (22210015)
 Dwi Manggala Septiawan (22210194)
 John Philip.S (23210754)
 Lita Lestari (24210055)
KELAS : 2EB10

MENGEMBANGKAN KONSEP BISNIS KOPERASI
 
1. Pendahuluan
Perkembangan ekonomi dunia saat ini merupakan saling pengaruh dua arus utama, yaitu teknologi informasi dan globalisasi. Teknologi informasi secara langsung maupun tidak langsung kemudian mempercepat globalisasi. Berkat teknologi informasi, perjalanan ekonomi dunia makin membentuk ”dirinya” yang baru, menjadi Kapitalisme Baru berbasis Globalisasi (Capra 2003; Stiglitz 2005; Shutt 2005). Perkembangan ekonomi inilah yang biasa disebut Neoliberalism. Gelombang besar neoliberalism merupakan puncak pelaksanaan 10 kebijakan Washington Consencus tahun 1989.
Bagaimana koperasi sendiri? Apakah koperasi memang telah melakukan ”strategic positioning” sebagai wadah anggotanya ”bekerjasama” untuk kesejahteraan bersama anggota serta masyarakat, bukannya bekerja ”bersama-sama” untuk kepentingan masing-masing anggota, atau malah manajer dan atau pengurus koperasi? Apakah koperasi juga telah sesuai impian the founding fathers, menjadi sokoguru perekonomian Indonesia?
Banyak sudah program-program prestisius pengembangan koperasi. Koperasi juga tak kunjung selesai dibicarakan, didiskusikan, “direkayasa”, diupayakan pemberdayaan dan penguatannya. Pendekatan yang dilakukan mulai dari akademis (penelitian, pelatihan, seminar-seminar, sosialisasi teknologi), pemberdayaan (akses pembiayaan, peluang usaha, kemitraan, pemasaran, dll), regulatif (legislasi dan perundang-undangan), kebijakan publik (pembentukan kementrian khusus di pemerintahan pusat sampai dinas di kota/kabupaten, pembentukan lembaga-lembaga profesi), sosiologis (pendampingan formal dan informal), behavior (perubahan perilaku usaha, profesionalisme) bahkan sampai pada pendekatan sinergis-konstruktif (program nasional Jaring Pengaman Nasional, pengentasan kemiskinan, Pembentukan Lembaga Penjaminan, Pembentukan Dekopin dari daerah sampai nasional).
 
1.1 Permasalahan
Tetapi ternyata, seluruh ”treatment” tersebut sebenarnya tidak menyelesaikan beberapa masalah mendasar koperasi. Pertama, seperti diungkapkan Soetrisno (2002) bahwa ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan tiga pola penitipan kepada program, yaitu pembangunan sektoral, lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya dan perusahaan negara maupun swasta berbentuk koperasi karyawan. Tiga pola tersebut menurut beliau berakibat prakarsa mayarakat kurang berkembang, kalaupun muncul tidak diberi tempat sebagai mana mestinya.
Masalah kedua, Ketika program tersebut gagal, maka koperasi harus memikul beban kegagalan program. Sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk peneliti dan media massa.
Masalah ketiga, data perkoperasian Indonesia sampai tahun 2006, dijelaskan Jauhari (2006) didominasi oleh Koperasi Fungsional, seperti koperasi karyawan, koperasi pegawai dan lainnya yang dibentuk dalam lingkungan institusi tertentu baik pemerintah maupun swasta. Koperasi seperti itu jelas membatasi keanggotaan dan memiliki sifat stelsel pasif. Biasanya koperasi fungsional merupakan bentuk ekonomi intermediasi untuk memenuhi kebutuhan anggota, seperti swalayan, klinik, praktik dokter bersama, dan lain-lain.Koperasi fungsional seperti ini juga memiliki sifat subordinas
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah, pertama, menggali konsep-konsep genuineberekonomi dari realitas masyarakat Indonesia; kedua, menempatkan konsep genuineberekonomi sebagai landasan utama pengembangan bisnis koperasi ala Indonesia; ketiga, menunjukkan bukti empiris bahwa ternyata masyarakat Indonesia memang memiliki keunikan tersendiri memahami koperasi; keempat, memberikan masukan konstruktif bagi pengambil kebijakan perkoperasian dalam pengembangan koperasi ke depan.
 
2. KOPERASI INDONESIA: OPERASIONALISASI EKONOMI RAKYAT
Mubyarto (2002) menjelaskan ekonomi saat ini juga tidak harus dikerangkakan pada teori-teori Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas tidak dapat menjadi obat bagi masalah-masalah masyarakat Indonesia dewasa ini.
Ekonomi rakyat yang sejatinya dicoba untuk menjadi pola bebas dari substansi intermediasi dan dikotomi privat sphere dan publik sphere, seperti Koperasi, malah menjadi representasi kooptasi globalisasi dan neoliberalisme dan secara tidak sadar mematikan dirinya sendiri secara perlahan-lahan. Istilah ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, misalnya dijelaskan Mubyarto (2002) bukanlah kooptasi dan pengkerdilan usaha mayoritas rakyat Indonesia, tetapi merupakan kegiatan produksi dan konsumsi yang dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat, sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat.
 
3. CORE COMPETENCIES: JANTUNG ORGANISASI BISNIS
Hamel dan Prahalad (1994) menjelaskan bahwa suatu organisasi perlu memperhatikan keberhasilannya di masa depan sebagai persiapan untuk pengembangan dan kerja sama kompetensi untuk meraih keunggulan produk dan jasa yang baru. Dengan begitu, strategi daya saing pasar masa depan mengharuskan para manajer puncak suatu organisasi untuk menyesuaikan kompetensi inti organisasi dan strategi serta kerja sama pengelolaan sumber daya untuk keberhasilannya.
Mudahnya, kompetensi inti atau core competencies, pertama, dalam jangka pendek memang memiliki sesuatu keunggulan yang dimiliki perusahaan disertai kemampuan produk; kedua, dalam jangka panjang dikembangkan untuk konsolidasi dengan kesamaan visi-misi organisasi yang kuat; ketiga, memerlukan kemampuan dan ketangguhan dari para penggiat organisasinya
 
4. PEMBAHASAN: INTERAKSI REALITAS SINKRONIS-DIAKRONIS
Penelusuran substansi konsep diri koperasi dilakukan secara diakronis, sinkronis dan melakukan sinergi keduanya. Penelusuran diakronis yaitu melakukan pendalaman aspek antropologis pikiran ekonomi koperasi dan penerjemahannya di lapangan masa pra kemerdekaan sampai kemerdekaan (mulai awal proklamasi sampai turunnya Hatta menjadi Wapres). Penelusuran sinkronis yaitu melakukan pendalaman aspek antropologis beberapa aktivitas bisnis berkoperasi masyarakat Indonesia. Sinergi diakronis dan sinkronis dilakukan untuk menemukan titik temu sekaligus substansi konsep koperasi.
4.1. Penelusuran Diakronis Koperasi Masa Awal
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang (Masngudi 1990; Tambunan 2007). Perkembangan koperasi di Indonesia menurut Masngudi (1990) mengalami pasang naik dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya. Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja (1896), mendirikan koperasi simpan pinjam. Selanjutnya Boedi Oetomo dan Sarekat Islam menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga. Perkembangan perkoperasian Indonesia masa itu menyatu dengan kekuatan sosial politik sehingga menimbulkan kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia Belanda mengatur dan cenderung menghalangi atau menghambat perkembangan koperasi. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, dengan tegas perkoperasian ditulis di dalam UUD 1945. DR. H. Moh Hatta berusaha memasukkan rumusan perkoperasian di dalam “konstitusi”.
4.2. Sinergi Diakronis-Sinkronis: Menuju Konsep Pemberdayaan Koperasi
Dapat disimpulkan bahwa perkembangan koperasi awal sampai masa kemerdekaan terlihat bahwa habitus masyarakat Indonesia dalam mengembangkan (practice) koperasi (field) didasarkan kepentingan pemberdayaan (capital). Memang perkembangan awal masih bertujuan untuk kepentingan konsumtif dan kebutuhan modal anggotanya (intermediasi). Hal ini dapat dilihat dari koperasi di Purwokerto sampai dibentuknya koperasi oleh Boedi Oetomo, SI, NU, PNI, dan lainnya. Meskipun koperasi intermediasi seperti ini akhirnya tidak berjalan lama. Tetapi setelah berjalan sekitar 20 tahun, gerakan koperasi mulai mengarah kepentingan produktif.
 
5. Kesimpulan
Konsep kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan dan sinergi produktif-intermediasi-retail merupakan substansi pengembangan koperasi sesuai realitas masyarakat Indonesia yang unik. Meskipun perkembangannya saat ini banyak tereduksi intervensi kebijakan dan subordinasi usaha besar. Diperlukan kebijakan, regulasi, supporting movement (bukannyaintervention movement), dan strategic positioning (bukannya sub-ordinat positioning) berkenaan menumbuhkan kembali konsep kemandirian, kekeluargaan dan sinergi produktif-intermediasi-retail yang komprehensif. Paling penting adalah menyeimbangkan kepentingan pemberdayaan ekononomi koperasi berbasis pada sinergi produktif-intermediasi-retail sesuai Ekonomi Natural model Hatta. Sinergi produktif-intermediasi-retail harus dijalankan dalam koridor kompetensi inti kekeluargaan. Artinya, pengembangan keunggulan perusahaan berkenaan inovasi teknologi dan produk harus dilandasi pada prinsip kekeluargaan. Individualitas anggota koperasi diperlukan tetapi, soliditas organisasi hanya bisa dijalankan ketika interaksi kekeluargaan dikedepankan.
 
Sumber : Hatta, Mohammad. 1947. Penundjuk Bagi Rakjat Dalam Hal Ekonomi: Teori dan Praktek. Penerbit Kebangsaan Pustaka Rakjat. Jakarta.
Ismangil, W. Priono. 2006. Menumbuhkan Kewirausahaan Koperasi Melalui Pengembangan Unit Usaha yang Fleksibel dan Independen. Infokop. 29-XXII. Hal 72-76.
Jauhari, Hasan. 2006. Mewujudkan 70.000 Koperasi Berkualitas. Infokop. No 28-XXII. Hal.1-9.
Masngudi. 1990. Penelitian tentang Sejarah Perkembangan Koperasi di Indonesia. Badan Penelitian Pengembangan Koperasi. Departemen Koperasi. Jakarta.

Review Journal 7

Nama Kelompok :
 Arya Faizal (21210150)
 Desy Dwi Jayanti ( 21210864)
 Dila Noviyanti (22210015)
 Dwi Manggala Septiawan (22210194)
 John Philip.S (23210754)
 Lita Lestari (24210055)
KELAS : 2EB10


PERKEMBANGAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN INDONESIA MENUJU INTERNATIONAL FINANCIAL REPORTING STANDARDS

Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 14 No.2, Juli 2009
ABSTRAK
Standar akuntansi keuangan di Indonesia perlu mengadopsi IFRS untuk pelaporan keuangan Indonesia agar dapat diterima perusahaan-perusahaan di seluruh dunia dan Indonesia mampu memasuki persaingan global untuk menarik investor internasional. Indonesia berencana untuk sepenuhnya mengadopsi IFRS pada tahun 2012. Sebuah adopsi adalah wajib bagi perusahaan yang terdaftar dan multinasional. Keputusan apakah Indonesia akan sepenuhnya mengadopsi IFRS atau diadopsi sebagian untuk tujuan harmonisasi harus dipertimbangkan hati-hati. Penuh adopsi IFRS akan meningkatkan keandalan dan komparabilitas pelaporan keuangan internasional.
Jika Indonesia sepenuhnya mengadopsi IFRS pada tahun 2012, ini merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh para akademis dan perusahaan-perusahaan. Kurikulum, kurikulum dan sastra harus disesuaikan untuk beradaptasi dengan perubahan. Ini membutuhkan waktu dan usaha karena banyak aspek terkait dengan perubahan. Penyesuaian juga harus dilakukan oleh perusahaan atau organisasi, terutama mereka dengan interaksi dan transaksi. Adopsi penuh juga berarti perubahan prinsip akuntansi ini telah diterapkan standar akuntansi di seluruh dunia. Hal ini tidak dapat dicapai dalam waktu singkat karena alasan standar akuntansi (1) beberapa erat terkait dengan sistem perpajakan. Penerapan IFRS internasional dapat mengubah sistem pajak di setiap negara untuk sepenuhnya mengadopsi IFRS. (2) standar akuntansi ini adalah kebijakan akuntansi untuk memenuhi kebutuhan nasional dan kebijakan ekonomi yang berbeda di setiap negara. Ini bisa menjadi tantangan utama dalam mengadopsi penuh IFRS.
 
LATAR BELAKANG
Standar akuntansi di Indonesia saat ini belum menggunakan secara penuh (full adoption) standar akuntansi internasional atau International Financial Reporting Standard (IFRS). Standar akuntansi di Indonesia yang berlaku saat ini mengacu pada US GAAP (United Stated Generally Accepted Accounting Standard), namun pada beberapa pasal sudah mengadopsi IFRS yang sifatnya harmonisasi. Adopsi yang dilakukan Indonesia saat ini sifatnya belum menyeluruh, baru sebagian (harmonisasi).
Proses harmonisasi ini memiliki hambatan antara lain nasionalisme dan budaya tiap-tiap negara, perbedaan sistem pemerintahan pada tiap-tiap negara, perbedaan kepentingan antara perusahaan multinasional dengan perusahaan nasional yang sangat mempengaruhi proses harmonisasi antar negara, serta tingginya biaya untuk merubah prinsip akuntansi.
Pengadopsian standar akuntansi internasional ke dalam standar akuntansi domestik bertujuan menghasilkan laporan keuangan yang memiliki tingkat kredibilitas tinggi, persyaratan akan item-item pengungkapan akan semakin tinggi sehingga nilai perusahaan akan semakin tinggi pula, manajemen akan memiliki tingkat akuntabilitas tinggi dalam menjalankan perusahaan, laporan keuangan perusahaan menghasilkan informasi yang lebih relevan dan akurat, dan laporan keuangan akan lebih dapat diperbandingkan dan menghasilkan informasi yang valid untuk aktiva, hutang, ekuitas, pendapatan dan beban perusahaan (Petreski, 2005).
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mencanangkan bahwa Standar akuntansi internasional (IFRS) akan mulai berlaku di Indonesia pada tahun 2012 secara keseluruhan atau full adoption (sumber: Ikatan Akuntan Indonesia, 2009). Pada tahun 2012 tersebut diharapkan Indonesia sudah mengadopsi keseluruhan IFRS, sedangkan khusus untuk perbankan diharapkan tahun 2010. Dengan pencanangan tersebut timbul permasalahan mengenai sejaumana adopsi IFRS dapat diterapkan dalam Laporan Keuangan di Indonesia, bagaimana sifat adopsi yang cocok apakah adopsi seluruh atau sebagian (harmonisasi), dan manfaat bagi perusahaan yang mengadopsi khususnya dan bagi perekonomian Indonesia pada umumnya, serta bagaimana kesiapan Indonesia untuk mengadopsi IFRS, mungkinkah tahun 2012 Indonesia mengadopsi penuh IFRS?
 
ANALISIS
Choi dan Mueller (1998) mendefinisikan akuntansi internasional adalah akuntansi internasional yang memperluas akuntansi yang bertujuan umum, yang berorientasi nasional, dalam arti yang luas untuk: (1) analisa komparatif internasional, (2) pengukuran dan isu-isu pelaporan akuntansinya yang unik bagi transaksi bisnis-bisnis internasional dan bentuk bisnis perusahaan multinasional, (3) kebutuhan akuntansi bagi pasar-pasar keuangan internasional, dan (4) harmonisasi akuntansi di seluruh dunia dan harmonisasi keragaman pelaporan keuangan melalui aktivitas-aktivitas politik, organisasi, profesi dan pembuatan standar.
IFRS (Internasional Financial Accounting Standard) adalah suatu upaya untuk memperkuat arsitektur keungan global dan mencari solusi jangka panjang terhadap kurangnya transparansi informasi keuangan. Tujuan IFRS adalah memastikan bahwa laporan keungan interim perusahaan untuk periode-periode yang dimaksukan dalam laporan keuangan tahunan, mengandung informasi berkualitas tinggi yang: (1). Menghasilkan transparansi bagi para pengguna dan dapat dibandingkan sepanjang periode yang disajikan., (2). menyediakan titik awal yang memadai untuk akuntansi yang berdasarkan pada IFRS., (3). dapat dihasilkan dengan biaya yang tidak melebihi manfaat untuk para pengguna. Indonesia perlu mengadopsi standar akuntansi internasional untuk memudahkan perusahaan asing yang akan menjual saham di negara ini atau sebaliknya.
Choi, et al. (1999) menyatakan bahwa Harmonisasi merupakan proses untuk meningkatkan kompatibilitas (kesesuaian) praktik akuntansi dengan menentukan batasan-batasan seberapa besar praktik-praktik tersebut dapat beragam. Standart harmonisasi ini bebas dari konflik logika dan dapat meningkatkan komparabilitas (daya banding) informasi keuangan yang berasal dari berbagai Negara. Saat ini harmonisasi standar akuntansi internasional menjadi isu hangat karena berhubungan erat dengan globalisasi dalam dunia bisnis yang terjadi saat ini. IASC (International Accounting Stadard Committe) adalah lembaga yang bertujuan merumuskan dan menerbitkan standar akuntansi sehubungan dengan pelaporan keuangan dan mempromosikannya untuk bisa diterima secara luas di seluruh dunia, serta bekerja untuk pengembangan dan harmonisasi standar dan prosedur akuntansi sehubungan dengan pelaporan keuangan (Choi & Mueller, 1998).
Kerugian apa yang akan kita hadapi bila kita tidak melakukan harmonisasi, kerugian kita berkaitan dengan kegiatan pasar modal baik modal yang masuk ke Indonesia, maupun perusahaan Indonesia yang listing di bursa efek di negara lain. Perusahaan asing yang ingin listing di BEI akan kesulitan untuk menerjemahkan laporan keuangannya dulu sesuai standart nasional kita, sedangkan perusahaan Indonesia yang akan listing di Negara lain, juga cukup kesulitan untuk menerjemahkan atau membandingkan laporan keuangan sesuai standart di negara tersebut. Hal ini jelas akan menghambat perekonomian dunia, dan aliran modal akan berkurang dan tidak mengglobal.
Menurut Nobes dan Parker (2002), rintangan yang paling fundamental dalam proses harmonisasi adalah: (1) perbedaan praktek akuntansi yang berlaku saat ini pada berbagai negara, (2) kurangnya atau lemahnya tenaga profesional atau lembaga profesional di bidang akuntansi pada beberapa negara, (3) perbedaan sistem politik dan ekonomi pada tiap-tiap negara. Menurut Lecturer Ph. Diaconu Paul (2002), hambatan dalam menuju harmonisasi adalah: (1) Nasionalisme tiap-tiap negara, (2) Perbedaan sistem pemerintahan pada tiap-tiap negara, (3) Perbedaan kepentingan antara perusahaan multinasional dengan perusahaan nasional yang sangat mempengaruhi proses harmonisasi antar negara, (4) Tingginya biaya untuk merubah prinsip akuntansi.

KESIMPULAN
Standar Akuntansi Keuangan Indonesia perlu mengadopsi IFRS karena kebutuhan akan info keuangan yang bisa diakui secara global untuk dapat bersaing dan menarik investor secara global. Saat ini, adopsi yang dilakukan oleh PSAK Indonesia sifatnya adalah harmonisasi, belum adopsi secara utuh, namun indonesia mencanangkan akan adopsi seutuhnya IFRS pada tahun 2012. Adopsi ini wajib diterapkan terutama bagi perusahaan publik yang bersifat multinasoinal, untuk perusahaan non publik yang bersifat lokal tidak wajib diterapkan.
Perlu dipertimbangkan lebih jauh lagi sifat adopsi apa yang cocok diterapkan di Indonesia, apakah adopsi secara penuh IFRS atau adopsi IFRS yang bersifat harmonisasi yaitu mengadopsi IFRS disesuaikan dengan kondisi ekonomi, politik, dan sistem pemerintahan di Indonesia. Adopsi secara penuh IFRS akan meningkatkan keandalan dan daya banding informasi laporan keuangan secara internasional, namun adopsi seutuhnya akan bertentangan dengan sistem pajak pemerintahan Indonesia atau kondisi ekonomi dan politik lainnya. Hal ini merupakan rintangan dalam adopsi sepenuhnya IFRS di Indonesia.
Adopsi seutuhnya terhadap IFRS, berarti merubah prinsip-prinsip akuntansi yang selama ini telah dipakai menjadi suatu standar akuntansi berlaku secara internasional. Hal ini kemungkinan besar tidak akan dapat tercapai dalam waktu dekat, mengingat kendala yang dihadapi antaralain: (1) standar akuntansi sangat berhubungan dengan sistem perpajakan. Sistem perpajakan setiap negara bervariasi. Jika prinsip akuntansi distandarkan secara internasional, berarti sistem perpajakannya juga harus distandarkan secara internasional, masalahnya mungkinkah ini terjadi? (2) standar akuntansi adalah suatu kebijakan akuntansi yang dibuat berdasarkan kebutuhan politik dan ekonomi suatu negara. Politik dan ekonomi setiap negara bervariasi, sehingga masalah politik dan ekonomi akan selalu menjadi hambatan dalam adopsi IFRS secara utuh dalam suatu negara.

DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Fahmi. 2008. Bank wajib terapkan revisi PSAK pada 2010. Bisnis Indonesia. http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi harian/keuangan/1id39361.html
American Institute Certified Public Accountants. 2008. IFRS: An AICPA (American Institute Certified Public Accountants) Background. Newyork. www.IFRS.com. 1 April 2009.
American Institute Certified Public Accountants. 2008. IFRS Primer for Audit Committees. Newyork. www.IFRS.com. 1 April 2009.
Ashbaugh and Pincus. 1999. “Domestic Accounting Standard, International Accounting Standards, and The Predictability of Earning”.
Barth, Landsman and Lang. 2005. “International Accounting Standards and Accounting Quality”. Journal of Accounting.

Review Journal 6

Nama Kelompok :
 Arya Faizal (21210150)
 Desy Dwi Jayanti ( 21210864)
 Dila Noviyanti (22210015)
 Dwi Manggala Septiawan (22210194)
 John Philip.S (23210754)
 Lita Lestari (24210055)
KELAS : 2EB10

STUDI PERAN SERTA WANITA DALAM PENGEMBANGAN USAHA KECIL MENENGAH DAN KOPERASI
 
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1). Menganalisis kemampuan dan partisipasi perempuan dalam mengembangkan Usaha Kecil & Menengah (UKM) & Co-operative 2). Mengidentifikasi mendorong dan faktor penghambat partisipasi perempuan dalam pengembangan UKM & Co-operative 3). Memperoleh alternatif lain untuk meningkatkan kemampuan dan partisipasi perempuan dalam pengembangan UKM & Koperasi. Studi ini diselenggarakan di 5 (lima) propinsi, mereka berada di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan, menggunakan perspektif jender survei metode, pengolahan data dengan tabulasi dan analisis data telah dilakukan oleh reflektif-deskriptif. Dari penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa sebagai pelaku UKM, wanita berperan sebagai sebagai pelaku bisnis atau sebagai pemilik, sebagai manajer atau bahkan tenaga kerja. Oleh karena itu wanita kebanyakan keberhasilan dalam berhubungan dengan keuangan, industri kerajinan, dan industri pengolahan. Karena itu, sebagian besar koperasi yang dikelola oleh wanita adalah tabungan dan pinjaman dalam kegiatan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa wanita berhasil dalam UKM & Koperasi pembangunan terlihat dari kinerja beberapa Perempuan Co-Operasi di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, baik ditunjukkan oleh organisasinya aspek yang jumlah dan pertumbuhan dari anggotanya, bekerja kinerja yang adalah nilai dan pertumbuhan modal sendiri, modal eksternal, omset, dan mencapai keuntungan. Volume usaha (VU) atau omset koperasi sampling yang
telah mencapai Rp 2,6 miliar sampai lebih dari Rp 35 miliar per tahun telah memberikan multiplier effect dan juga memiliki peran besar dalam mengembangkan usaha kecil dan mikro di wilayah tersebut, karena sebagian besar koperasi?? perputaran modal kerja pinjaman pada usaha kecil dan mikro. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perempuan cukup berhasil sebagai pelaku atau mengembangkan UKM & Koperasi, yang berhasil disebabkan karena wanita memiliki persaingan, keterampilan, pemasaran, pemanfaatan sumber koperasi, dan self citra aspek itu adalah ketulusan, tanggung jawab, disiplin. Untuk meningkatkan kemampuan dan partisipasi perempuan dalam pengembangan UKM & Koperasi, maka dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dengan pelatihan dan pendidikan, praktek kerja, studi membandingkan, dan lain-lain
 
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketika Indonesia dilanda kritis, pemerintah baru tersadar bahwa usaha besar yang dibangga- banggakan justru sebagian besar bangkrut/gulung tikar dan memberikan beban berat bagi negara dan bangsa, sebaliknya usaha kecil dan koperasi yang selama ini dipandang sebelah mata mampu bertahan,bahkan berkembang.
Hampir setiap hari, semua media melaporkan kondisi krisis ekonomi yang tak kunjung membaik. Tingkat kesehatan perbankan, dan upaya pemulihan sektor riil seolah tak ada hasilnya, PHK dan pengangguran bertambah. Karena krisis suami sebagai kepala rumah tangga menjadi pegangguran tak kentara dan kebutuhan rumah tangga, pendidikan anak, kesehatan tak mungkin dihentikan, memaksa para istri yang semula hanya sebagai ibu rumah tangga mulai berperan di berbagai bidang usaha.
Wanita potensial untuk melakukan berbagai kegiatan produktif yang menghasilkan dan dapat membantu ekonomi keluarga, dan lebih luas lagi ekonomi nasional, apalagi potensi tersebut menyebar di berbagai bidang maupun sektor. Dengan potensi tersebut wanita potensial berperan aktif dalamproses recovery ekonomi yang masih diselimuti berbagai permasalahan ini. Dalam kondisi demikian kajian dengan tema “wanita dan pengembangan usaha”relevan untuk dibicarakan, khususnya dalam upaya menyiasati pemulihan ekonomi serta meningkatkan kemandirian dan kemampuan wanita
1.2 Perumusan Masalah
Wanita memiliki berbagai kelebihan seperti keuletan, etos kerja yang tinggi,juga memiliki kelemahan-kelemahan yang menghambat peran serta dan partisipasinya dalam perekonomian Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan penelitian atau studi secara mendalam guna memperoleh gambaran secara persis kemampuan dan peran serta wanita dalam kegiatan pengembangan usaha, yaitu : 1) sampai seberapa jauh kompetensi dan peran wanita dalam berbagai kegiatan atau bidang usaha, 2) kenapa mereka berhasil di suatu jenis usaha tertentu dan kenapa mereka selalu gagal dalam bidang usaha lainnya, 3) sampai sejauh mana wanita memiliki kelebihan dan kelemahan dalam melakukan pengembangan usaha, serta 4) bagaimana kemungkinan pengembangan kemampuan dan peran serta mereka dalam pengembanganusaha kecil, menengah dan koperasi.
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan yang ingin dicapai pada studi ini adalah :
1) Mengnalisis kemampuan dan peranserta wanita dalam mengembangkan UKMK
2) Mengidentifikasi factor pendorong dan penghambat peranserta wanita dalam pengembangan UKMK

II. KERANGKA PEMIKIRAN
GBHN 1999 antara lain mengamanatkan perlunya meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam berbagai bidang pembangunan baik di pusat maupun di daerah.
Istilah wiraswasta sebelumnya lebih sering dipakai darpada wirausaha sebagai padanan kata intrepreneur , berasal dari wira berarti utama, gagah, luhur, berani, teladan, atau pejuang , dan swa berarti sendiri dan ta berarti berdiri, sehingga swasta berarti berdiri diatas kaki sendiri atau berdiri atas kemampuan sendiri. Dengan demikian wiraswasta/wirausaha berarti pejuang yang gagah, luhur, berani dan paantas menjadi teladan dalam bidang usaha. Dengan kata lain wirausaha adalah orang-orang yang memiliki sifat/jiwa kewirausahaan/kewiraswastaan, yaitu berani mengambil resiko, keutamaan, kreativitas, keteladanan dalam menangani usaha dengan berpijak pada kemauan dan kemampuan sendiri.
Untuk melihat hasil usahanya dilihat dari kinerja koperasi /UKM, baik kinerja kelembagaan maupun usahanya. Dengan menganggap faktor luar tidak berpengaruh, maka bila pelaku usaha memiliki kompetensi usaha maka kinerja usahanya akan baik. Untuk mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat dicari faktor-faktor dominan atau kelebihan-kelebihan yang kebanyakan dimiliki wanita yang menyebabkan wanita berhasil, dan diidentifikasi kelemahan-kelemahan yang dimiliki wanita yang biasanya akan menjadi penghambat keberhasilannya, serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam mengelola usaha. Untuk peningkatan kemampuan wanita diidentifikasi kebutuh peningkatan pengetahuan dan ketrampilannya.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Kinerja Kelembagaan dan Usaha Koperasi Sampel
Kegiatan usaha pokok koperasi sampel adalah simpan pinjam, sedang kegiatan usaha lain yang ditangani antara lain KCK, toko/ waserda, kantin/ catering, wartel/ kiospon, kredit barang dan konveksi. Pengurus Koperasi sample berjumlah 3 sampai 6 orang , 5 Koperasi 5 Koperasi (50%) telah memiliki manager dengan pendidikan SLTA (3 kop: K1, K2 Jabar dan K1 Sulsel), dan S1 (2 Kopwan Jatim).
3.2 Kinerja UKM contoh lima propinsi
Usaha kecil wanita yang menjadi sampel dalam penelitian ini 22 UK yaitu Jatim 2 UK, Jabar 6 UK, Kalbar 3 UK, dua diantaranya adalah KUB, Sulsel 7 UK diantaranya 2 KUB dan Sumbar 4 UK, Kebanyakan UKM contoh telah memulai usahanya sejak t\ahun 1990an atau berumur 5-10 tahun yaitu sebanyak 16 UK, tahun 1980 an atau berumur 15-20 tahun 5 UK dan satu UK telah berumur 30 tahun.
3.3 Keberhasilan dan Kegagalan Wanita Sebagai Pelaku Usaha
Keberhasilan wanita ditunjang dari kelebihan-kelebihan wanita yang merupakan faktor dominan terhadap keberhasilannya sebagai pelaku usaha antara lain telaten, jujur sehingga lebih dipercaya, ulet, sabar, teliti, cermat, serius, tekun, berani mengambil resiko, tangguh, tidak mudah menyerah, memiliki jiwa bisnis atau wira usaha, kemauan keras, semangat, dedikasi dan loyalitas tinggi, terbuka, bekerja dengan ikhlas, selalu menjaga nama baik, tidak egois, disiplin dalam administrasi maupun pengelolaan keuangan.
3.4 Permasalahan Yang Dihadapi dan Kiat Yang Dilakukan Koperasi atau UKM Dalam Pengembangan Usahanya
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi UKM maupun koperasi demikian pula UKMK wanita dapat mempengaruhi kinerjanya. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain kurang modal, lemahnya SDM, kurang sarana/ prasarana, sulitnya akses ke perbankan, kurang menguasai pasar, kurang menguasai penggunaan teknologi,
3.5 Alasan Mengapa Wanita Berkiprah Di Koperasi atau UKM
Alasan atau motivasi wanita melakukan usaha, yaitu untuk menentukan apa yang ingin dicapai,, tujuan apa yang hendak dicapai, serta produk apa yang akan dihasilkan. Banyaknya motivasi wanita melakukan usaha karena ingin mengurangi pengangguran atau menciptakan lapangan usaha, menunjukkan adanya kesadaran dari wanita atas kondisi pengangguran yang semakin meningkat, adanya kesadaran dari wanita untuk menciptakan pekerjaan bukan mencari pekerjaan.
3.6 Pemanfaatan Teknologi Dan Pemikiran Diversifikasi Usaha
Teknologi sangat bermanfaat dalam rangka pengembangan usaha, baik dalam rangka peningkatan kualitas maupun kuantitas karena dengan teknologi pekerjaan berjalan secara otomatis akan mempersingkat waktu, mungkin bisamenekan biaya, dan meningkatkan kualitas produk.
3.7 Hubungan Kerja Antara Pimpinan/ Pelaku Usaha Dengan Bawahan/Sejawat dan Mitra Usaha
Hubungan kerja pimpinan/ pelaku usaha dengan anak buah/ staf/ manajer atau dengan sejawat seperti dalam koperasi dengan Badan Pengawas hampir seluruhnya menyatakan tidak ada kesulitan. Kendala hubungan dengan mitra usaha kebanyakan yang banyak diperlukan adalah kemitraan dengan BUMN atau BUMS belum jalan, pembayaran tidak tepat waktu, kesulitan dalam penagihan cicilan pada anggota, dan lain sebagainya.
3.8 Kebutuhan Peningkatan Pengetahuan dan Ketrampilan
Dalam hal peningkatan ketrampilan, yang banyak dibutuhkan oleh pelaku usaha wanita adalah mengenai peningkatan ketrampilan manajerial, memasarkan produk, penggunaan teknologi dan sumber daya masing-masing, kemudian melakukan inovasi sesuai dengan kegiatan usahanya, dan memproduksi barang dan jasa.

IV. KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
Dalam kegiatan UKM, wanita berperan sebagai pelaku usaha atau sebagai pemilik, sebagai manager ataupun tenaga kerja. Dalam kegiatan koperasi, wanita dapat berperan sebagai anggota, pengurus, pengawas, manager, pembina ataupun pendamping usaha. Peran serta wanita dalam berbagai sektor, namun sesuai dengan kelebihan-kelebihan yang dimiliki wanita. Koperasi contoh yang dikelola wanita, dapat diketegorikan koperasi kecil, sedang, besar dan sangat besar dilihat dari kelembagaan khususnya jumlah anggota dan tenaga kerjanya, kinerja usahanya dan hampir maupun semuanya berjalan cukup baik
Koperasi/UKM sampel masih menghadapi permasalahan-permasalahan dalam mengembangkan usahanya, seperti kurang modal, lemahnya SDM, kurang menguasai teknologi/pasar memperngaruhi kinerja usaha, sehingga permasalahan-permasalahan tersebut perlu dicarikan pemecahan secara terpadu. Hampir seluruh responden wanita pelaku usaha menyatakan ingin menciptakan lapangan usaha/mengurangi penggangguran sebagai motivasi mengapa berkiprah dalam dunia usaha.
Sebanyak 87,8 % responden wanita pelaku usaha yang menyatakan tidak ada kesulitan dalam menjalin hubungan kerja dengan anak buah, sejawat, ini menunjukkan responden memiliki kemampuan peran sosial yang baik Terdapat kesadaran dan kemauan yang tinggi dari wanita pelaku usaha untuk meningkatkan kemampuan ketrampilannya agar dapat meningkatkan usahanya, baik dalam bentuk pendidikan/pelatihan, studi banding,maupun magang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Laporan Akhir Penelitian Peranan Wanita Dalam Pengembangan Koperasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Koperasi, Departemen Koperasi, 1991-1992;
Hesti, R.Wd. Penelitian Perspektif Gender dalam Analisis Gender Dalam Memahami Persoalan Perempuan, Jurnal Analisis Sosial Edisi IV Nopember 1996;
Hetifah, S. dkk, Strategi dan Agenda Pengembangan Usaha Kecil, Seri Penelitian AKATIGA, Yayasan AKATIGA 1995;
Masykur Wiratmo, Pengantar Kewiraswastaan Kerangka Dasar Memasuki Dunia, BPFE-UGM Yogyakarta, edisi Pertama;
Porter Michael E, “Competitive Advantage””, The Free Press, 1985;
Siagian Salim dan Asfahani, Kewirausahaan Indonesia dengan Semangat 17-8-1945, Puslatkop. PK Depkop dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Jakarta;
Sumampaw, S.A. dkk, Ada Bersama Tradisi Seri Usaha Mikro Kecil, Swisscontact dan Limpad, 2000
Sumber : http://smecda.com/kajian/files/jurnal/Hal_136.pdf

Minggu, 13 November 2011

Review Journal 5

 Nama Kelompok :
 Arya Faizal (21210150)
 Desy Dwi Jayanti ( 21210864)
 Dila Noviyanti (22210015)
 Dwi Manggala Septiawan (22210194)
 John Philip.S (23210754)
 Lita Lestari (24210055)
KELAS : 2EB10

[Artikel - Th. II - No. 4 - Juli 2003]
Mubyarto

DARI ILMU BERKOMPETISI KE ILMU BERKOPERASI

Pendahuluan
Ketika memenuhi undangan IKOPIN Jatinangor untuk memberikan seminar tentang Pengajaran Ilmu Ekonomi di Indonesia tanggal 7 – 8 Mei 2003, kami terkejut saat mengetahui IKOPIN bukan singkatan dari Institut (Ilmu) Koperasi Indonesia, tetapi Institut Manajemen Koperasi Indonesia. Ternyata pada saat berdirinya IKOPIN tahun 1984, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang berwenang memberikan ijin operasi perguruan-perguruan tinggi berpendapat ilmu koperasi tidak dikenal dan yang ada adalah ilmu ekonomi. Karena koperasi lebih dimengerti sebagai satu bentuk badan usaha, maka ilmu yang tepat untuk mempelajari koperasi adalah cabang ilmu ekonomi mikro yaitu manajemen. Masalah koperasi dianggap semata-mata sebagai masalah manajemen yaitu bagaimana mengelola organisasi koperasi agar efisien, dan agar, sebagai organisasi ekonomi, memperoleh keuntungan (profit) sebesar-besarnya seperti organisasi atau perusahaan-perusahaan lain yang dikenal yaitu perseroan terbatas atau perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN).
Pada tahun-tahun tujuhpuluhan Bapak Koperasi Indonesia Bung Hatta mengkritik pedas koperasi–koperasi Indonesia yang lebih nampak berkembang sebagai koperasi pengurus, bukan koperasi anggota. Organisasi koperasi seperti KUD (Koperasi Unit Desa) dibentuk di semua desa di Indonesia dengan berbagai fasilitas pemberian pemerintah tanpa anggota, dan sambil berjalan KUD mendaftar anggota petani untuk memanfaatkan gudang danlaintai jemur gabah, mesin penggiling gabah atau dana untuk membeli pupuk melalui kredit yang diberikan KUD. Walhasil anggota bukan merupakan prasarat berdirinya sebuah koperasi.
Terakhir, kata koperasi yang disebut sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan asas kekeluargaan dihapus dari UUD 1945 ketika ST-MPR 2002 membuat putusan “fatal” menghapuskan seluruh penjelasan atas pasal-pasal UUD 1945 dengan alasan tidak masuk akal a.l. “di negara-negara lain tidak ada UUD/konstitusi yang memakai penjelasan”. Akibat dari putusan ST-MPR 2002 adalah bahwa secara konstitusional, bangun usaha koperasi tidak lagi dianggap perlu atau wajib dikembangkan di Indonesia. Konsekuensi lebih lanjut jelas bahwa keberadaan lembaga Menteri Negara Koperasi & UKM pun kiranya sulit dipertahankan. Meskipun sistem ekonomi Indonesia tetap berdasar asas kekeluargaan, tetapi organisasi koperasi tidak merupakan keharusan lagi untuk dikembangkan di Indonesia. Inilah sistem ekonomi yang makin menjauh dari sistem ekonomi Pancasila.

Reformasi Kebablasan
Sistem Ekonomi Indonesia berubah menjadi makin liberal mulai tahun 1983 saat diluncurkan kebijakan-kebijakanderegulasi setelah anjlognya harga ekspor minyak bumi. Pemerintah Indonesia yang telah dimanja bonansa minyak (1974 – 1981) merasa tidak siap untuk tumbuh terus 7% per tahun dalam kondisi ekonomi lesu, sehingga kemudian memberi kebebasan luar biasa kepada dunia usaha swasta (dalam negeri dan asing) untuk “berperan serta” yaitu membantu pemerintah dalam membiayai pembangunan nasional. Pemerintah memberikan kebebasan kepada orang-orang kaya Indonesia untuk mendirikan bank yang secara teoritis akan membantu mendanai proyek-proyek pembangunan ekonomi. Kebebasan mendirikan bank-bank swasta yang disertai kebebasan menentukan suku bunga (tabungan dan kredit) ini selanjutnya menjadi lebih liberal lagi tahun 1988 dalam bentuk penghapusan sisa-sisa hambatan atas keluar-masuknya modal asing dari dan ke Indonesia. Jumlah bank meningkat dari sekitar 70 menjadi 240 yang kemudian sejak krismon dan krisis perbankan 1997 – 1998 menciut drastis menjadi dibawah 100 bank. Krismon dankrisbank jelas merupakan rem “alamiah” atas proses kemajuan dan pertumbuhan ekonomi “terlalu cepat” (too rapid) yang sebenarnya belum mampu dilaksanakan ekonomi Indonesia, sehingga sebagian besar dananya harus dipinjam dari luar negeri atau melalui investasi langsung perusahaan-perusahaan multinasional.
Kondisi ekonomi Indonesia pra-krisis 1997 adalah kemajuan ekonomi semu di luar kemampuan riil Indonesia. Maka tidak tepat jika kini pakar-pakar ekonomi Indonesia berbicara tentang “pemulihan ekonomi” (economic recovery) kepada kondisi sebelum krisis dengan pertumbuhan ekonomi “minimal” 7% per tahun. Indonesia tidak seharusnya memaksakan diri bertumbuh melampaui kemampuan riil ekonominya. Jika dewasa ini ekonomi Indonesia hanya tumbuh 3-4% per tahun tetapi didukung ekonomi rakyat, sehingga hasilnya juga dinikmati langsung oleh rakyat, maka angka pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah itu jauh lebih baik dibanding angka pertumbuhan ekonomi tinggi (6-7% per tahun) tetapi harus didukung pinjaman atau investasi asing dan distribusinya tidak merata.
Reformasi ekonomi yang diperlukan Indonesia adalah reformasi dalam sistem ekonomi, yaitu pembaruan aturan main berekonomi menjadi aturan main yang lebih menjamin keadilan ekonomi melalui peningkatan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Jika kini orang menyebutnya sebagai perekonomian yang bersifat kerakyatan, maka artinya sistem atau aturan main berekonomi harus lebih demokratis dengan partisipasi penuh dari ekonomi rakyat. Inilah demokrasi ekonomi yang diamanatkan pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya.
   
Amandemen terhadap Amandemen:
Perubahan Ke-empat Pasal 33 UUD 1945 melanggar Pancasila dan tidak sesuai kehendak rakyat
Pasal 33 UUD 1945 yang terdiri atas 3 ayat, dan telah menjadi ideologi ekonomi Indonesia, melalui perdebatan politik panjang dan alot dalam 2 kali sidang tahunan MPR (2001 dan 2002), di-amandemen menjadi 5 ayat berikut:
  1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan (lama)
  2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (lama)
  3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (lama)
  4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (Perubahan Keempat)
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. (Perubahan Keempat)
Dipertahankannya 3 ayat lama pasal 33 ini memang sesuai dengan kehendak rakyat. Tetapi dengan penambahan ayat 4 menjadi rancu karena ayat baru ini merupakan hal teknis menyangkut pengelolaan dan pelaksanaan kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi. Pikiran di belakang ayat baru ini adalah paham persaingan pasar bebas yang menghendaki dicantumkannya ketentuan eksplisit sistem pasar bebas dalam UUD. Asas efisiensi berkeadilan dalam ayat 4 yang baru ini sulit dijelaskan maksud dan tujuannya karena menggabungkan 2 konsep yang jelas amat berbeda bahkan bertentangan.
Kekeliruan lebih serius dari perubahan ke 4 UUD adalah hilangnya asas ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomiyang tercantum dalam penjelasan pasal 33 karena ST-MPR 2002 memutuskan menghapuskan seluruh penjelasan UUD 1945.
Demikian karena kekeliruan-kekeliruan fatal dalam amandemen pasal 33 UUD 1945, ST-MPR 2003 yang akan datang harus dapat mengoreksi dan membuat amandemen atas amandemen pasal 33 dengan menyatakan kembali berlakunya seluruh Penjelasan UUD 1945 atau dengan memasukkan materi penjelasan pasal 33 ke dalam batang tubuh UUD 1945.

Ilmu Ekonomi Sosial
Social economics insists that justice is a basic element of socio-economic organization. It is, indeed, far more important than allocative efficiency. Inefficient societies abound and endure on the historical record but societies that lack widespread conviction as to their justness are inherently unstable. (Stanfield, 1979: 164)
Meskipun secara prinsip kami berpendapat teori dualisme ekonomi Boeke (1910, 1930) sangat bermanfaat untuk mempertajam analisis masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi bangsa dan rakyat Indonesia, namun pemilahan secara tajam kebutuhan rakyat ke dalam kebutuhan ekonomi dan kebutuhan sosial harus dianggap menyesatkan. Yang benar adalah adanya kebutuhan sosial-ekonomi (socio-economic needs). Adalah tepat pernyataan Gunnar Myrdal seorang pemenang Nobel Ekonomi bahwa:
The isolation of one part of social reality by demarcating it as “economic” is logically not feasible. In reality, there are no “economic”, “sociological”, or “psychological” problems, but just problems and they are all complex. (Myrdal, 1972: 139, 142)
Pernyataan Myrdal ini secara tepat menunjukkan kekeliruan teori ekonomi Neoklasik tentang “economic man” (homo economicus) sebagai model manusia rasional yang bukan merupakan manusia etis (ethical man) dan juga bukan manusia sosial (sociological man). Adam Smith yang dikenal sebagai bapak ilmu ekonomi sebenarnya dalam buku pertamanya (The Theory of Moral Sentiments, 1759) menyatakan manusia selain sebagai manusia ekonomi adalah juga manusia sosial dan sekaligus manusia ethik.
Jelaslah bahwa perilaku ekonomi manusia Indonesia tidak mungkin dapat dipahami secara tepat dengan semata-mata menggunakan teori ekonomi Neoklasik Barat tetapi harus dengan menggunakan teori ekonomi Indonesia yang dikembangkan tanpa lelah dari penelitian-penelitian induktif-empirik di Indonesia sendiri.
Jika pakar-pakar ekonomi Indonesia menyadari keterbatasan teori-teori ekonomi Barat (Neoklasik) seharusnya mereka tidak mudah terjebak pada kebiasaan mengadakan ramalan (prediction) berupa “prospek” ekonomi, dengan hanya mempersoalkan pertumbuhan ekonomi atau investasi dan pengangguran. Mengandalkan semata-mata pada angka pertumbuhan ekonomi, yang dasar-dasar penaksirannya menggunakan berbagai asumsi yang tidak realistis sekaligus mengandung banyak kelemahan, sangat sering menyesatkan.
Pakar-pakar ekonomi Indonesia hendaknya tidak cenderung mencari gampangnya saja tetapi dengan bekerja keras dengan kecerdasan tinggi mengadakan penelitian-penelitian empirik untuk menemukan masalah-masalah konkrit yang dihadapi masyarakat dan sekaligus menemukan obat-obat penyembuhan atau pemecahannya.

Penutup
Dalam era otonomi daerah setiap daerah terutama masyarakat desanya harus memiliki rasa percaya diri bahwa melalui organisasi kooperasi (koperasi) kegiatan ekonomi rakyat dapat diperhitungkan keandalan kekuatannya. Koperasi harus mereformasi diri meninggalkan sifat-sifat koperasi sebagai koperasi pengurus menjadi koperasi anggota dalam arti kata sebenarnya. Jika koperasi benar-benar merupakan koperasi anggota maka tidak akan ada program/kegiatan koperasi yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan/kebutuhan anggota. Dengan perkataan lain setiap “produk” atau kegiatan usaha koperasi harus berdasarkan “restu” atau persetujuan anggota. Koperasi tidak mencari keuntungan karena anggotalah yang mencari keuntungan yang harus menjadi lebih besar dengan bantuan organisasi koperasi.
Bersamaan dengan pembaruan praktek-praktek berkoperasi, akan lahir dan berkembang ilmu koperasi, yang merupakan “ilmu ekonomi baru” di Indonesia, yang merupakan ilmu sosial ekonomi (social economics). Ilmu ekonomi baru ini merupakan ilmu ekonomi tentang bagaimana bekerja sama (cooperation) agar masyarakat menjadi lebih sejahtera, lebih makmur, dan lebih adil, bukan sekedar masyarakat yang lebih efisien (melalui persaingan/kompetisi) yang ekonominya tumbuh cepat. Ilmu ekonomi yang baru ini tidak boleh melupakan cirinya sebagai ilmu sosial yang menganalisis sifat-sifat manusia Indonesia bukan semata-mata sebagai homo-ekonomikus, tetapi juga sebagai homo-socius dan homo-ethicus. Dengan sifat ilmu ekonomi yang baru ini ilmu ekonomi menjadi ilmu koperasi
The nature of homo ethicus is completely different and indeed opposite to that of homo economicus. He is altruistic and cooperative individual, honest and truth telling, trusty and who trust others. He derives moral and emotional well-being from honouring his obligations to others, has a strong sense of duty and a strong commitment to social goals (Lunati, 1997:140)
Dalam tatanan ekonomi baru pemerintah termasuk pemerintah daerah berperan menjaga dipatuhinya aturan main berekonomi yang menghasilkan “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Otonomi daerah yang merupakan simbol kewenangan daerah untuk mengelola sendiri ekonomi daerah harus dilengkapi desentralisasi fiskal yang diatur secara serasi oleh pemerintah daerah bersama DPRD, kesemuanya diarahkan pada kesejahteraan rakyat yang maksimal.


Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM

Bibliografi
  1. Hill, Polly, 1975. A Plea for Indigenous Economics: The Western African Examples.
  1. Hunt, E.K. History of Economic Thought: A critical Perspective, 1979. California, Wadsworth Publishing Company, Inc.
  1. Keynes, John Maynard, 1935, The General Theory of Employment, Interest, and Money, London. Macmillan & Co., Ltd.
  1. Lunati, M. Teresa, 1997, Ethical Issues in Economics: From Altruism to Cooperation to Equity, MacMilalan, London.
  1. Mubyarto & Bromley, 2002. A Development Alternative for Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
  1. Mubyarto, 2002. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta, BPFE-UGM.
  1. Mubyarto, Hudiyanto, & Agnes Mawarni, Ilmu Koperasi, (konsep), akan terbit.
  1. Myrdal, Gunnar, 1975. Against the Stream: Critical Essays on Economics, New York, Vintage Books.
  1. Smith, Adam. 1759. The Theory of Moral Sentiments, Washington D.C. Regnery Publishing.
  1. Stanfield, J. Ron, 1979, Economic Thought and Social Change, London and Amsterdam, Feffer & Simons, Inc.

REVIEW JOURNAL

       I.            ABSTRAK

IKOPIN adalah singkatan dari Institut Manajemen Koperasi Indonesia,didirikan pada tahun 1984, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang berwenang memberikan ijin operasi perguruan-perguruan tinggi berpendapat ilmu koperasi tidak dikenal dan yang ada adalah ilmu ekonomi. Karena koperasi lebih dimengerti sebagai satu bentuk badan usaha, maka ilmu yang tepat untuk mempelajari koperasi adalah cabang ilmu ekonomi mikro yaitu manajemen. Organisasi koperasi seperti KUD (Koperasi Unit Desa) dibentuk di semua desa di Indonesia dengan berbagai fasilitas pemberian pemerintah tanpa anggota, dan sambil berjalan KUD mendaftar anggota petani untuk memanfaatkan gudang danlaintai jemur gabah, mesin penggiling gabah atau dana untuk membeli pupuk melalui kredit yang diberikan KUD. Walhasil anggota bukan merupakan prasarat berdirinya sebuah koperasi. Reformasi dalam sistem ekonomi, yaitu pembaruan aturan main berekonomi menjadi aturan main yang lebih menjamin keadilan ekonomi melalui peningkatan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Dalam era otonomi daerah setiap daerah terutama masyarakat desanya harus memiliki rasa percaya diri bahwa melalui organisasi kooperasi (koperasi) kegiatan ekonomi rakyat dapat diperhitungkan keandalan kekuatannya. Koperasi harus mereformasi diri meninggalkan sifat-sifat koperasi sebagai koperasi pengurus menjadi koperasi anggota dalam arti kata sebenarnya. Jika koperasi benar-benar merupakan koperasi anggota maka tidak akan ada program/kegiatan koperasi yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan/kebutuhan anggota. Dengan perkataan lain setiap “produk” atau kegiatan usaha koperasi harus berdasarkan “restu” atau persetujuan anggota. Koperasi tidak mencari keuntungan karena anggotalah yang mencari keuntungan yang harus menjadi lebih besar dengan bantuan organisasi koperasi. Ilmu ekonomi baru ini merupakan ilmu ekonomi tentang bagaimana bekerja sama (cooperation) agar masyarakat menjadi lebih sejahtera, lebih makmur, dan lebih adil, bukan sekedar masyarakat yang lebih efisien (melalui persaingan/kompetisi) yang ekonominya tumbuh cepat. Ilmu ekonomi yang baru ini tidak boleh melupakan cirinya sebagai ilmu sosial yang menganalisis sifat-sifat manusia Indonesia bukan semata-mata sebagai homo-ekonomikus, tetapi juga sebagai homo-socius dan homo-ethicus. Dengan sifat ilmu ekonomi yang baru ini ilmu ekonomi menjadi ilmu koperasi.

    II.            POINT-POINT
·         Ilmu ekonomi merupakan ilmu ekonomi tentang bagaimana bekerja sama (cooperation) agar masyarakat menjadi lebih sejahtera, lebih makmur, dan lebih adil, bukan sekedar masyarakat yang lebih efisien (melalui persaingan/kompetisi) yang ekonominya tumbuh cepat.
·         koperasi lebih dimengerti sebagai satu bentuk badan usaha, maka ilmu yang tepat untuk mempelajari koperasi adalah cabang ilmu ekonomi mikro yaitu manajemen.
·         Reformasi dalam sistem ekonomi, yaitu pembaruan aturan main berekonomi menjadi aturan main yang lebih menjamin keadilan ekonomi melalui peningkatan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Dalam era otonomi daerah setiap daerah terutama masyarakat desanya harus memiliki rasa percaya diri bahwa melalui organisasi kooperasi (koperasi) kegiatan ekonomi rakyat dapat diperhitungkan keandalan kekuatannya.
·         Koperasi tidak mencari keuntungan karena anggotalah yang mencari keuntungan yang harus menjadi lebih besar dengan bantuan organisasi koperasi.