Seperti
yang sudah dijelaskan pada artikel sebelumnya, pembubaran BPMIGAS diputuskan
oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 November 2012. Mahkamah Konstitusi
memutuskan pasal yang mengatur tugas dan fungsi Badan Pelaksana Minyak dan Gas
Bumi (BPMIGAS) yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat.
Terdapat
tiga alasan yang dikemukakan oleh Mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS) Raden Priyono.
Pertama,
Pertamina tidak pernah ikhlas untuk melepas BP Migas. Pertamina tetap ingin
menguasai BP Migas seperti era 1970-an lalu. "Ini semacam ada pertarungan
dengan Pertamina karena Pertamina tidak pernah ikhlas melepas Pertamina,"
jelasnya.
Wewenang BP Migas
memang pernah diserahkan ke Pertamina, khususnya pada 1970-an. Saat itu,
Pertamina memang punya pengalaman pernah mengontrol produksi industri hulu
migas hingga 1,6 juta barrel. Dengan wewenang BP Migas dikembalikan ke
Pertamina, Pertamina akan dianggap sebagai wasit sekaligus pemain di sektor
migas. "Dengan menjadi pemain sekaligus wasit, maka Pertamina bebas
bermain dan mengawasi sendiri. Beda kalau ada BP Migas, Pertamina menjadi tidak
nyaman," tambahnya.
Bahkan, Pertamina
sempat hanya memproduksi sekitar 40.000-50.000 barrel bahan bakar minyak saja.
Padahal, minyak tersebut harus didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia.
Otomatis, karena Pertamina saat itu menjadi pemain sekaligus wasit, maka tidak
ada yang berani menggugat wewenang perusahaan minyak pelat merah tersebut.
Kedua,
untuk mengamankan posisi di 2014. Sekadar catatan, selama menjadi lembaga
pemerintah non-BUMN, BP Migas dinilai berkuasa untuk mengatur dan
mendistribusikan minyak dan gas bumi di Tanah Air. Kewenangannya langsung
berada di bawah Presiden.
Dalam hal perputaran
uang (cashflow), BP Migas dinilai lebih cepat dan besar nilai perputaran
uangnya. Priyono mencatat bisa mencapai Rp 1 triliun per hari. "Kita kan
rata-rata bisa menyetor ke negara di atas Rp 300 triliun per tahun. Jadi, per
harinya bisa mencapai Rp 1 triliun," jelasnya.
Bahkan untuk menyetor
ke kas Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN), Priyono mengaku
lembaganya mampu menyetor 30 persen dari total APBN per tahun.
Ketiga,
pertarungan antara yang ingin meningkatkan produksi dan pihak yang memang tidak
ingin produksi minyak naik. "Importir minyak. Itu kan alamiah
sekali," ucap Priyono.
Dikatakannya, kalau
produksi minyak Indonesia naik, tentunya bisnis importir bakal berkurang.
"Itu kan enak, bisnis minyak itu tidak usah investasi. Itu trading kok.
Lain dengan KPS yang harus investasi dulu, lima tahun baru balik," tegas
Priyono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar