Suku Betawi
adalah sebuah suku bangsa di Indonesia yang penduduknya umumnya bertempat
tinggal di Jakarta. Sejumlah pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari
hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka
yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka
suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut
dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta.
Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah
lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orangSunda, Jawa, Arab, Bali, Bugis,
Makassar, Ambon, Melayu dan Tionghoa.
Namun pihak
lain berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis
dan bangsa pada masa lalu ternyata tidak sepenuhnya benar karena eksistensi
suku Betawi menurut sejarawan Sagiman MD telah ada serta mendiami Jakarta dan
sekitarnya sejak zaman batu baru atau pada zaman Neoliticum, penduduk asli
Betawi adalah penduduk Nusa Jawa sebagaimana orang Sunda, Jawa, dan Madura.
[1]Pendapat Sagiman MD tersebut senada dengan Uka Tjandarasasmita yang
mengeluarkan monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman
Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)" mengungkapkan bahwa Penduduk
Asli Jakarta telah ada pada sekitar tahun 3500 - 3000 sebelum masehi.
Namun menurut
sebagian Peneliti yang sepaham dengan Lance Castles yang pernah meneliti
tentang Penduduk Jakarta dimana Jurnal Penelitiannya diterbitkan tahun 1967
oleh Cornell University dikatakan bahwa secara biologis, mereka yang mengaku
sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan
bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Kelompok etnis ini lahir dari
perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta,
seperti orang Sunda, Jawa,Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Melayu serta suku-suku
pendatang, seperti Arab,India, Tionghoa, dan Eropa.
Sejarah Suku Betawi Jakarta
Kata Betawi
digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu
Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata Betawi sebenarnya
berasal dari kata “Batavia,” yaitu nama kuno Jakarta yang diberikan oleh
Belanda.
Diawali oleh
orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan
Tarumanegara serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula
pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau
Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta
Gujarat di India.
Antropolog
Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi
baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini
didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis
sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu
melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam
data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari
berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis
Betawi.
Rumah Bugis
di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun
1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di
daerah Kota. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan
etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Jawa dan
Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang
Melayu.
Sifat
campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara
umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal
dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang
kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal
dari seni musik Tiongkok, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi
musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab dan Tanjidor
yang berlatar belakang ke-Belanda-an.
Secara
biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum
berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin
antaretnis dan bangsa di masa lalu.
Terbentuknya Kebudayaan Suku Betawi
Jakarta
Kebudayaan
suku Betawi merupakan kebudayaan asli kota Jakarta. Kebudayaan suku Betawi
terbentuk akibat akulturasi (pencampuran) berbagai kebudayaan yang telah ada
sebelumnya. Karena sikap keterbukaan orang Betawi dan penghargaan tinggi
terhadap perbedaan juga turut mempercepat akulturasi tersebut. Karena
akulturasi itu, kebudayaan suku Betawi dapat dikelompokkan berdasarkan pengaruh
kebudayaan-kebudayaan asal yang membentuknya, yaitu :
·
Kebudayaan
yang terbentuk karena pengaruh kebudayaan Arab dan Melayu, seperti alat musik
Samrah, Rebana dan Marawis.
·
Kebudayaan
yang terbentuk karena pengaruh kebudayaan Cina, seperti tari Yapong, Lenong,
tari Cokek, Gambang Kromong, dan Topeng Betawi.
·
Kebudayaan
yang terbentuk karena pengaruh kebudayaan Portugis dan Belanda, seperti
Keroncong Tugu dan Tanjidor.
·
Kebudayaan
suku Betawi bisa jadi menjadi kebudayaan terkaya di Indonesia. Mengingat
akulturasi pada suku ini sangat banyak. Tidak mengherankan jika kebudayaan suku
Betawi dapat menarik minat pendatang untuk tinggal di Jakarta untuk
berlangsungnya kebudayaan Betawi secara turun-temurun.
Seni dan kebudayaan
Seni dan
Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan arkeologis,
semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten
Bekasi yang berasal dari abad ke 11 masehi. Selain itu budaya Betawi juga
terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan dari beragam etnis
pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo . Sejak zaman dahulu,
wilayah bekas kerajaan Salakanagara atau kemudian dikenal dengan
"Kalapa" (Sekarang Jakarta) merupakan wilayah yang menarik pendatang
dari dalam dan luar Nusantara, Percampuran budaya juga datang pada masa
Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa dimana Prabu Surawisesa
mengadakan perjanjian dengan Portugal dan dari hasil percampuran budaya antara
Penduduk asli dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.
Suku-suku
yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan
Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari
budaya luar, sepertibudaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku Betawi
sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang.
Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi
Jawa Barat dan provinsiBanten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain
baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi,
didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.
Bahasa
Sifat
campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara
umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang
berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada juga yang
berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar "Kalapa"
(sekarangJakarta) juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi).
Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah
diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena
itu, tidak heran kalau penduduk asli Betawi yang pada awalnya berbahasa Kawi
dan mendiami daerah sekitar pelabuhan Sunda Kalapa (jauh sebelum Sumpah Pemuda)
sudah menggunakan bahasa Melayu, bahkan ada juga yang mengatakan suku lainnya
semisal suku Sunda yang mendiami wilayah inipun juga ikut menggunakan Bahasa
Melayu yang umum digunakan di Sumatera dan Kalimantan Barat, penggunaan bahasa
ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang dari wilayah Melayu lainnya semisal
Kalimantan Barat dikarenakan dianggap abainya Syailendra ketika dimintai tolong
oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut sebelah barat Sungai Cimanuk
sebagai hasil Perjanjian Damai Sriwijaya - Kediri yang dimediasi oleh China
yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena
perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda diwilayah
lainnya tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang
tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan
menyebutnya sebagai etnis Betawi. Walau demikian, masih banyak nama daerah dan
nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata
Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan
kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain
yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga
Manik[9] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa
formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau
bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek
Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek
Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan
dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah
seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat
bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta
Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas
paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari
Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke
pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah
Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal
dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek
Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat
mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas
menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras
mati seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al Quran.
Musik
Dalam bidang
kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal
dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi
musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor
yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni
Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor danKeroncong. Betawi juga memiliki
lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".
Tari
Seni tari di
Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di
dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong
Sunda, Cokek dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki
pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas
pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis.
Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang
dinamis.
Drama
Drama
tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional
ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan
diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong
dapat berinteraksi langsung dengan penonton.
Cerita rakyat
Cerita rakyat
yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si
Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si
jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun
kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau
pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan
kehidupan zaman kolonial. cerita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado
Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.
Senjata tradisional
Senjata khas
Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.
Rumah tradisional
Rumah
tradisional/adat Betawi adalah rumah kebaya
Kepercayaan
Sebagian
besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama
Kristen;Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara
suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah
keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena
pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Pajajaran mengadakan perjanjian dengan
Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan
Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas
Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta
Utara.
Profesi
Di Jakarta,
orang Betawi sekarang sebagai hasil asimilasi antar suku bangsa, sebelum era
pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah
(kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran
Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan
lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal
K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni
oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung yang
sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah.
Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan
silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari
Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak
zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan.
Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet
aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu program
Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke
Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks
olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena salah satu
asal-muasal berkembangnya suku Betawi adalah dari asimilasi (orang Nusantara,
Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing
kaum disesuaikan pada cara pandang etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.
Perilaku dan sifat
Asumsi
kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam
segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi
yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin
Sueb, dan Fauzi Bowo Gubernur DKI Jakarta (2007 - 2012) .
Ada beberapa
hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi,
walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius.
Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran
orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi
sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara
masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta.
Orang Betawi
sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan
warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke
masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang tidak
bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini
agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta).
Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru
akan menopang modernisasi tersebut.
Tradisi masyarakat betawi
1. Tradisi Meriah
Meriah dan penuh warna-warni,
demikian gambaran dari tradisi pernikahan adat Betawi. Diiringi suara petasan,
rombongan keluarga mempelai pria berjalan memasuki depan rumah kediaman
mempelai wanita sambil diiringi oleh ondel-ondel, tanjidor serta marawis
(rombongan pemain rebana menggunakan bahasa arab). Mempelai pria berjalan
sambil menuntun kambing yang merupakan ciri khas keluarga betawi dari Tanah
Abang.
Sesampainya didepan rumah terlebih
dulu diadakan prosesi “Buka Palang Pintu”, berupa berbalas pantun dan Adu Silat
antara wakil dari keluarga pria dan wakil dari keluarga wanita. Prosesi
tersebut dimaksudkan sebagai ujian bagi mempelai pria sebelum diterima sebagai
calon suami yang akan menjadi pelindung bagi mempelai wanita sang pujaan hati.
Uniknya, dalam setiap petarungan silat, pihak mempelai wanita pasti dikalahkan
oleh jagoan calon pengantin pria.
2. Prosesi Akad Nikah
Pada saat akad nikah, rombongan
mempelai pria memberikan hantaran berupa :
·
Sirih,
gambir, pala, kapur dan pinang artinya segala pahit, getir, dan manisnya
kehidupan rumah tangga harus dijalani bersama antara suami dan istri.
·
Maket
Mesjid, maksudnya adalah agar mempelai wanita tidak lupa akan kewajibannya
kepada agama dan harus menjalani shalat serta mengaji.
·
Kekudung,
berupa barang kesukaan mempelai wanita misalnya salak condet, jamblang, dan
sebagainya.
·
Mahar
atau mas kawin dari pihak pria untuk diberikan kepada mempelai wanita.
·
Pesalinan
berupa pakaian wanita seperti kebaya encim, kain batik, kosmetik, sepasang roti
buaya. Buaya merupakan pasangan yang abadi dan tidak berpoligami serta selalu
mencari makan bersama-sama.
·
Petise
yang berisi sayur mayur atau bahan mentah untuk pesta, misal : wortel, kentang,
bihun, buncis dan sebagainya.
Acara
berlanjut dengan pelaksanaan akad nikah. Yang kemudian dilanjutkan dengan
penjemputan pengantin wanita. Selanjutnya, kedua pengantin dinaikkan ke dalam
sebuah delman yang sudah dihias dengan masing-masing seorang pengiring. Delman
tersebut ditutupi dengan kain pelekat hitam sehingga tidak kelihatan dari luar.
Akan tetapi, dengan kain pelekat hitam yang ditempelkan pada delman, maka
orang-orang mengetahui bahwa ada pengantin yang akan pergi ke penghulu.
Pernikahan
Pada hari
pesta pernikahan, baik pengantin pria maupun pengantin wanita, mengenakan
pakaian kebesaran pengantin dan dihias. Dari gaya pakaian pengantin Betawi, ada
dua budaya asing yang melekat dalam prosesi pernikahan. Pengantin pria
dipengaruhi budaya Arab. Sedangkan busana pengantin wanita dipengaruhi adat
Tionghoa. Demikian pula dengan musik yang meramaikan pesta pernikahan.
Reerensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar